photo cc532cee-48b0-4304-ab84-5f3a3fad823f.jpg  photo cc532cee-48b0-4304-ab84-5f3a3fad823f.jpg
 

Pengalaman Di RB Tresnowati

Kolo nuwun?, numpang posting maning, mudah-mudahan ndak bosen ya? Masih inget temen-temen RB TrisnowatI? Untuk angkatan SPK tahun 1989 ke atas mungkin masih ingat, karena memang angkatan saya adalah yang terakhir praktek di RB ini, setelah itu RB ini ditutup atau ganti nama atau berubah menjadi RSU atau merger dengan perusahaan PMA menjadi RS bertaraf international , ndak tahu sekarang. Ya.. RB ini letaknya dekat dengan terminal lama (apa namanya itu, lupa saya?) kalau yang baru sekarang kan di Giwangan. Ada cerita menarik atau pengalaman menarik yang sampai sekarang ndak bisa lupa. Untuk mencapai ketempat RB ini, dulu kami bisa berangkat dengan naik bis kota. Tapi kami untuk praktek disana menggunakan sepeda yang sudah disiapkan oleh pendidikan. (haha nongol juga ini istilah). Kami bisa pinjam kuncinya dengan menghubungi TU pendidikan saat itu kalau ndak salah ada Ibu Parbilah istrinya pak Giek guru olah raga. Kenapa menggunakan sepeda? Ini sudah merupakan warisan dari kakak kakak kelas. Mereka semua menggunakan sepeda, bahkan saat lapangan atau praktek Puskesmas pun beliau-beliau ini mengonthel sepeda jengki. Makanya sampai saat ini mereka fisiknya masih kuat, jarang mengeluh kepoyeng. Betul ndak? Seperti biasa sebelum berangkat kita minum teh sama makan roti tawar isi meses coklat di eatzall, setelah itu yang dinas luar juga sudah disiapkan bekal. 2 tangkep roti tawar plus telor rebus. Saat itu saya berlima ada Titin, Niken, Sumarni, Warsih dan saya sendiri denbaguse..???. Kalau dinas pagi kami berangkat agak pagi, dengan jaket almamater warna hijau. Coba Dulu sudah ada mbah Google Maps rombongan kami pasti paling gampang tertangkap kamera miliknya mbak google, soale warnane ijo royo-royo . Kalau dinas malam kami diantar pakai ambulance.. Sampai di Tresnowati ternyata kami ndak sendiri, ada banyak temen-temen dari luar rumah sakit atau SPK lain yang praktek disitu. Ada dari Depkes, Bethesda, Karya Husada dll. Saat itu ibu pembimbing pendidikan (ibu Wid) ndak tanggung-tanggung kasih kasus, harus dapat minimal 5 persalinan normal. Singkat cerita, diakhir hari praktek seperti biasa kami diuji oleh pembimbing praktek, saat itu CI nya saya lupa namanya. Kami berlima duduk melingkar, saya berada tepat didepan bu CI. Karena mungkin berhadapan, saya dikasih pertanyaan duluan. “Sudah dapat berapa persalinan mas”? Bu CI memulai pembicaraan. “Pas Bu, Dapat lima”, jawab saya singkat. “Sudah buat laporannya semua, dan sudah selesai”? sudah Bu, ini tinggal diperiksa dan minta tandatangannya sekalian”, jawab saya sambil menyerahkan laporan kasus yang ditulis tangan. “sudah tahu urutan persalianan normal” Tanya BU CI sambil menerima laporan kasus. Sambil toleh kanan kiri temen, saya jawab, “sudah Bu” “Coba sebutkan urutannya lengkap” mulai menatap saya dengan penuh serius. (Sambil mengiling-iling, ingat-ingat,Red) saya sebutkan. “Setelah kepala melewati tulang panggul besar berturut-turut keluar ubun-ubun besar, ubun-ubun kecil – dahi ( saat itu saya mencoba menghafal dan melihat muka temen untuk mengingat-ingat anatomi nya) kemudian hidung –terus gigi! “Apa”!!,,tiba-tiba Bu CI tadi memotong jawaban saya. Tentu saja saya kaget setengan hidup, apa yang salah dengan jawaban saya. SStt…. Ono opo iki pikirku dalam hati dan belum nyadar. Teman-teman disebelah kanan kiri saya cuma cikikikan, malah Warsih sambil nginjek kakiku. “Coba kamu ulang sekali lagi, Tanya Ibu dengan sedikit menahan tawa. “ Iya tadi, setelah ubun-ubun besar – ubun-ubun kecil – dahi – hidung – mulut – dagu”, saya mencoba menjelaskan kembali dengan penuh keheranan lihat temen-temen masih cikikikan menahan tawa dengan menutupi mulut dengan tangan. Batinku awas kowe nek wes rampung “respon” iki!!. “Nah kalau yang sekarang bener” jawab Ibu CI, “Tadi Mas menjelaskan, saya dengar berturut keluar dahi – hidung – gigi, Lhah!!.... opo ono bayi lahir wes methu unthune, Bu CI mencoba menjelaskan kembali jawana pertama kali”, Kali ini Ibu menjelaskan dengan senyum. “Nek Bayine Mas mungkin ada langsung tumbuh gigi”, sambil wajahnya menatap saya dengan penuh senyum. “Iya Mas”, sekali lagi Ibu Tanya, aku mung cengar-cengir wae. Dan temen-temen kali ketawa ngakak, ndak lagi diempet. WOO….lah aku mau ngomong gigi tha, apa iya? Sambil malu dengan muka berubah menjadi ijoe loemoet. “Iya”, jawab Niken sambil mencubit lengenku. “Ya sudah, dibaca lagi ya Mas?” sambil menyerahkan buku perasat saya yang sudah ditandatangani. Begitu respon selesai semua kami pamitan pulang Walah!!...... temen-temen isih wae ono sing nyubit, nggabloki aku. “Wes-wes loro kabeh aku, lha aku ra sengojo koq, aku mau pas njelaske karo mikir-mikir, lha mak ’theng ‘wae aku ndelok raine Titin. Yo aku sebutke wae dahi – hidung – mulut –gigi. Pas kui si Titiine yo lagi mrenges he!...Ketok unthune.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Facebook